Selasa, 19 April 2011

Darsem dan Realitas TKW

* Oleh Nurul Himawan

BEBERAPA waktu lalu, kita memperoleh kabar tentang pemerkosaan terhadap Darsem (30). Kasus tindak kekerasan terhadap tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi itu menambah deretan panjang nasib memilukan perempuan Indonesia di negeri orang.

Kasus itu jadi sorotan dunia internasional karena Darsem binti Dawud Tawar, asal Subang, Jawa Barat, justru dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan di Riyadh atas pengakuannya telah membunuh sang majikan. Darsem neyatakan terpaksa membunuh untuk membela diri karena sang majikan hendak memerkosa.

Darsem dinyatakan terbukti bersalah membunuh si majikan, warga negara Yaman, Desember 2007. Majelis hakim sidang pengadilan di Riyadh, 6 Mei 2009, memvonis hukuman pancung bagi Darsem.

Melalui kerja sama dengan Lajnah Islah (Komisi Jasa Baik untuk Perdamaian dan Pemberian Maaf) Riyadh dan pejabat Kantor Gubernur Riyadh, Darsem akhirnya mendapat pemaafan (tanazul) dari ahli waris korban. Pada 7 Januari 2011, ahli waris korban diwakili Asim bin Sali Assegaf bersedia memaafkan Darsem dengan kompensasi uang diyat (ganti rugi/santunan) 2 juta Sar (setara Rp 4,7 miliar) yang harus diserahkan ke ahli waris korban dalam jangka waktu enam bulan. Pernyataan tanazul itu disampaikan KBRI ke pengadilan Riyadh untuk pemrosesan selanjutnya.

Tiga Hal Penting

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Gumelar, Kamis (3/3), menyatakan uang tebusan siap dibayarkan pemerintah bila upaya hukum naik banding yang diajukan gagal. Pemerintah menunggu keputusan banding yang bisa berlangsung hingga enam bulan ke depan.

Kasus Darsem, sekali lagi, merupakan pelajaran sangat mahal bagi pemerintah. Kasus tindak kekerasan dan pelecehan hak asasi manusia (HAM) terhadap TKW harus diakhiri. Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menyatakan tindak kekerasan terhadap TKW sampai saat ini terbilang merebak. Ribuan TKW mengalami kekerasan pada 11 bulan terakhir. Berdasar data Migrant Care, ada 5.636 TKW menghadapi kasus serius dalam 11 bulan.

Sedikitnya ada tiga hal utama yang harus jadi perhatian pemerintah. Pertama, kasus tindak kekerasan terhadap TKW hendaknya jadi momentum bagi pemerintah untuk mengevaluasi menyeluruh penempatan dan perlindungan buruh migran karena terbukti gagal melindungi. Kedua, evaluasi kinerja legislatif secara menyeluruh, baik di tingkat legislasi, pengawasan, maupun anggaran.

Tahun 2010, revisi UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri telah jadi prioritas Prolegnas DPR. Namun laporan kemajuan proses pembahasan belum tampak.
Bahkan Maret DPR belum selesai membuat draf legal. Itu akibat kelemahan kinerja dan rendahnya produktivitas legislasi DPR.

Ketiga, evaluasi terhadap kinerja kabinet, terutama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Luar Negeri. Keterulangan kasus serupa yang sering terjadi bisa menjadi pertimbangan bagi Presiden untuk mengevaluasi kinerja kabinet di tengah sinyal kuat akan terjadi perombakan kabinet. Pemerintah seharusnya menegosiasikan dan menyepakati perjanjian bilateral dengan negara penerima TKW.

Secara multilateral, ada perjanjian internasional yang memberikan perlindungan pada buruh migran, yaitu International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Buruh Migran). Selain itu, perlu melibatkan organisasi dunia yang memiliki perhatian besar terhadap perlindungan pekerja migran untuk memperbaiki regulasi perlindungan TKW oleh pemerintah. Sebab, selama ini pengaturan perlindungan TKW harus tunduk pada peraturan ketenagakerjaan negara penerima TKW.

Organisasi dunia yang bisa dilibatkan dalam perlindungan TKW antara lain Organisasi Migran Internasional (International Organization for Migration/IOM), Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO), dan United Nations Fund for Population Activity (UNFPA). Ketiga organisasi dunia itu memiliki jaringan kerja luas di Asia, Afrika, Amerika Latin, Eropa, dan Australia, serta dipercaya mampu melindungi TKW dunia.

Jadi pemerintah harus bersikap antisipatif, tegas, punya konsep penanggulangan yang jelas, konkret, dan keberanian agar bisa mengatasi berbagai kasus tindak kekerasan atau pelanggaran HAM terhadap TKW di negeri orang. Pemerintah jangan berkesan lembek dan tak berani bertindak tegas terhadap negara-negara penerima TKW.

Tugas dan fungsi pemerintahlah untuk mengatur dan menjamin kesejahteraan serta keselamatan yang jadi hak setiap warga negara dari segala kejahatan, pelanggaran HAM, kebodohan, dan kemiskinan. UUD 1945 menyatakan negara ini adalah negara kesejahteraan (welfare state). Pemerintah memiliki tugas dan kewajiban menyejahterakan kehidupan warga negara.

Salah satu implementasi adalah memberikan peluang kerja seluas-luasnya di negara sendiri. Tak cukup dengan melontarkan pernyataan bahwa banyak TKW sukses, seperti belakangan diucapkan Wakil Presiden Boediono. Kini, saatnya pemerintah memperbaiki diri dengan banyak belajar dari kasus tindak kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap TKW. (51)

- Nurul Himawan, mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Universitas UNS Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar