Rumah Sejarah awalnya dibangun tahun 1917 untuk rumah dinas perwira Staf Sekolah Penerbang Hindia Belanda di PU Kalijati. Guna mengenangnya sebagai tempat bersejarah, pada 21 Juli 1986 atas inisiatif Komandan Lanud Kalijati saat itu, Letkol Pnb Ali BZE meresmikannya sebagai sebuah museum dengan nama "Rumah Sejarah". Dengan demikian, generasi penerus bangsa akan mengetahui tempat tersebut sebagai tempat penyerahan kekuasaan penjajahan Belanda kepada Jepang.
Sejak diresmikan, memori terhadap peristiwa bersejarah itu, khususnya dari para pelaku perjuangan kemerdekaan tanah air kembali terkenang. Hal ini terbukti dengan diperingatinya 60 tahun berakhirnya era penjajahan Belanda di Rumah Sejarah itu pada 9 Maret 2002 oleh Yayasan 19 September 1945 dan Yayasan Ermelo 96 sebagai paguyuban para pelaku perjuangan kemerdekaan. Acara tersebut dihadiri juga beberapa pejabat pemerintah dan pejabat teras Markas Besar TNI Angkatan Udara termasuk Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI Hanafi Asnan.
Walaupun berada di kompleks Lanud Suryadarma, pengawasan dan perawatan Rumah Sejarah berada di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Subang. Hal itu disebabkan Rumah Sejarah merupakan salah satu cagar budaya milik pemerintah yang berada di Kabupaten Subang.
Keadaan fisik bangunan Rumah Sejarah tidak beda dengan rumah yang sekarang masih berdiri di Kompleks Garuda, Lanud Suryadarma, yaitu terdiri dari ruang tamu dan ruang tengah, tiga kamar, dan ruangan belakang. Di ruang tamu terdapat lemari kaca (vitrin) yang memuat batu prasasti mini kotak ukuran 40 cm x 50 cm buatan tentara Jepang sebagai tanda peringatan menyerahnya Belanda kepada Jepang, di sampingnya terdapat sepasang pedang. Kemudian di tengahnya terdapat meja kursi kuno dan di kedua sudutnya ada lemari sudut kaca menyimpan benda koleksi mantan penghuni rumah.
Di ruang tengah sebagai bekas tempat perundingan terdapat meja persegi panjang dengan delapan kursi kuno beserta kain penutup bercorak kotak-kotak hitam putih. Di depan tiap kursi terdapat nama para pejabat Belanda dan Jepang saat melakukan perundingan. Pada sisi kanan kirinya terdapat dua bendera kedua bangsa dan di tembok menempel lukisan sebuah momen perundingan.
Di kamar pertama yang terletak di bangunan depan terdapat tiga papan memuat foto-foto sejarah. Pada papan pertama terpampang tulisan menyerahnya pemerintahan Belanda kepada Jepang dan dialog Panglima Imamura dengan Gubernur Jenderal Belanda serta Panglima Ter Porten. Terdapat pula foto bersama pejabat kedua negara setelah/sebelum perundingan dan foto bangunan lama di PU Kalijati. Pada sisi kanan terdapat lukisan menggambarkan tiga lokasi pendaratan pasukan Jepang ke Indonesia.
Pada kamar kedua terdapat rak buku-buku, album foto, dan radio kuno. Di sampingnya terdapat papan foto-foto sejarah mengenai kondisi Sekolah Penerbang Belanda dan mes para penerbang dan kru pesawat di PU Kalijati. Terdapat juga foto kondisi PU Kalijati, PU Husein Sastranegara Bandung, PU Semarang, dan PU Cililitan di Jakarta. Di samping itu, ada foto-foto pesawat tempur Jepang, aktivitas tentara Jepang, juga foto mantan beberapa serdadu Jepang yang tiap bulan September ke Lanud Suryadarma.Sersan Kinoshita meninggal saat pertempuran melawan Belanda di PU Kalijati. Saat ini, makamnya dijadikan monumen dengan nama "Monumen Sejarah Tentara Jepang", diresmikan pada 1986 setelah sebelumnya berupa makam biasa dan tahun 2003 atapnya mulai diberi cungkup. Kemudian tahun 2007 mulai dipagar sehingga monumen tersebut terkesan terawat karena berpagar dan bercungkup. Monumen itulah yang menjadi sarana berdoa mantan Tentara Jepang sebagai rekan Sersan Kinoshita ketika berkunjung ke Lanud Suryadarma, selain bernostalgia ke Rumah Sejarah dan Museum Amerta Dirgantara Mandala.
Pada kamar ketiga terdapat sebuah tempat tidur kuno dari besi, wastafel, dan papan foto-foto pesawat tempur Jepang. Terdapat pula papan yang bertuliskan proses penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang dalam bahasa Jepang dan Belanda. Kemudian di ruang belakang terdapat sebuah ruangan bekas kamar mandi dan dapur. Di beranda belakang rumah terhampar halaman luas, dari pintu belakang terdapat jalan berlantai dan beratap sirap menuju ke bangunan pada sisi kiri halaman. Bangunan itu berupa sebuah garasi, sebuah ruangan (untuk kantor staf Rumah Sejarah), dapur, dan kamar mandi.
Sampai saat ini, Museum Rumah Sejarah masih menjadi salah satu tujuan kunjungan siswa-siswa sekolah untuk study tour dari taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas bahkan mahasiswa yang berada di wilayah Kabupaten Subang, Purwakarta, dan Jawa Barat. Pengunjung biasanya melihat juga helikopter di Skadron Udara 7 Lanud Suryadarma serta Museum Pesawat Amerta Dirgantara sebagai sebuah museum kedirgantaraan sekaligus markas Pusat Pendidikan Terbang Layang (Pusdik Terla) Federasi Aerosport Seluruh Indonesia (FASI) di mana terdapat Pesawat Gelatik dan Glider untuk kegiatan olah raga terbang layang nasional.
Pendudukan Jepang
Awal mulanya, ketika Vice Admiral Takashi dari Jepang beserta bala tentaranya mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa 1 maret 1942. Mereka memilih tiga tempat pendaratan, yaitu di Merak, Banten, dipimpin Letnan Jenderal Hithoshi Imamura. Kedua, di Pantai Eretan Wetan, pantai utara Jawa Barat, dipimpin Kolonel Shoji yang disertai oleh tentara udara dipersiapkan untuk menyerang PU Kalijati. Ketiga, di daerah Pantai Kranggan, Jawa Tengah, dipimpin Brigade Sakaguchi.
Kolonel Shoji beserta 3.000 anggota pasukannya yang menggunakan sepeda dan kereta tempur bergerak menuju PU Kalijati. Kedatangannya yang tiba-tiba membuat penduduk dan tentara Belanda terkejut luar biasa sehingga Belanda tidak dapat melakukan perlawanan terhadap serangan tentara Jepang yang diperkuat serangan pesawat udaranya. Tentara Belanda mundur ke arah Kota Bandung, akhirnya PU Kalijati dapat diduduki Jepang dengan mudah.
Peristiwa tersebut merupakan pukulan berat bagi Belanda sehingga mereka mencoba merebutnya melalui serangan dari Purwakarta dan Subang. Namun, pasukan Jepang terlalu kuat, akibatnya moral tentara Belanda (KNIL) turun. Selanjutnya, Kolonel Shoji bermarkas di Pusat Perkebunan Pamanukan, Ciasem. Dari tempat itu mereka mengejar pasukan Belanda yang bermarkas di daerah Ciater dan Lembang. Di daerah tersebut pada 6 Maret 1942 terjadi pertempuran besar yang mengakibatkan korban banyak di kedua belah pihak. Namun, pada akhirnya Jepang dapat melumpuhkan Belanda.
Jenderal Ter Poorten sebagai Panglima Belanda menghadapi dilema berat mengetahui kondisi pasukannya di lapangan. Dengan alasan tidak ingin malu di kancah internasional, Panglima Jenderal Ter Poorten dengan persetujuan Mr. A.W.L. Tjarda van Starkenborgh sebagai Gubernur Jenderal Belanda mengutus Jenderal Pesman, Panglima Bandung pada 7 Maret 1942 guna berunding dengan Kolonel Shoji mengenai penghentian tembak-menembak dan perhitungan pasukan yang ada di bawah Jenderal Pesman saja tidak untuk pasukan yang ada di Jawa. Tawaran penghentian tembak-menembak diterima. Kemudian Kolonel Shoji melaporkan perundingan itu kepada Jenderal Imamura di Batavia. Jenderal Imamura menginginkan perhitungan pasukan Belanda tidak hanya yang di Bandung tapi harus meliputi seluruh pasukan Hindia Belanda di Jawa. Keinginan tersebut disampaikan pada Kolonel Shoji untuk diteruskan pada Belanda. Dengan berat hati Belanda akhirnya menyetujui syarat tersebut dan akan diadakan perundingan kedua pemimpin tertinggi yang direncanakan di daerah Jalancagak.
Penyerahan Belanda
Pada 8 Maret 1942, perundingan dilaksanakan tapi tidak di Jalancagak, namun di PU Kalijati dengan pertimbangan dari Jepang yaitu PU Kalijati merupakan PU yang kuat di mana terdapat armada udara tempurnya. Apabila perundingan gagal, Jenderal Imamura akan langsung memimpin perang. Syarat tersebut telah memperkuat Jepang dan melemahkan Belanda. Akhirnya, kedua pejabat tinggi Belanda yaitu Gubernur Jenderal Belanda Mr. A.W.L. Tjarda van Starkenborgh dan Panglima Ter Poorten menerima undangan Jenderal Imamura untuk berunding di PU Kalijati.
Dalam perundingan tersebut Jenderal Imamura minta agar Panglima Ter Poorten menyerah tanpa syarat dan menyerahkan seluruh Tentara Hindia Belanda. Kalau tidak dipenuhi maka Ter poorten boleh kembali ke Bandung, namun pertempuran akan dilanjutkan kembali. Jepang mengancam akan menghujani Bandung dengan bom dari udara. Sesudah diberi waktu 10 menit, Ter Poorten akhirnya tidak berkutik, ia akhirnya menandatangani penyerahan kekuasaan dan kekuatan Hindia Belanda tanpa syarat.
Keesokan harinya, Jenderal Ter Poorten melalui Radio Bandung memerintahkan penghentian tembak-menembak kepada seluruh pasukannya serta memerintahkan para komandan pasukan Belanda untuk menyerah tanpa syarat kepada satuan Jepang terdekat. Sejak itu, tamatlah penjajahan Belanda dan secara berangsur-angsur mereka angkat kaki dari bumi pertiwi.***
Oleh Kapten Sus. D. Agus Priyo, Kepala Penerangan dan Perpustakaan (Kapentak) Lanud Suryadarma d.a. Pentak Lanud Suryadarma, Kalijati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar